Selama dua pekan terakhir, netizen disuguhi drama
mengenai kontroversi Peraturan Pemerintah Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024
tentang Kesehatan. Setidaknya ada 3 hal yang ramai dibicarakan, yaitu tentang
penyediaan alat kontrasepsi, pembolehan aborsi korban perkosaan dan tentang
larangan penjualan rokok eceran. Dari
ketiga hal tersebut, topik alat kontrasepsi yang paling banyak menuai sorotan.
Polemik tajam muncul akibat satu pasal yang menyebut
penyediaan alat kontrasepsi bagi kelompok usia sekolah dan remaja. Pasal
tersebut adalah Pasal 103 Ayat (4) yang berbunyi: Pelayanan Kesehatan
reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: (a)
deteksi dini penyakit atau skrining; (b) pengobatan; (c) rehabilitasi; (d)
konseling; dan (e) penyediaan alat kontrasepsi.
Poin pengaturan pada poin e tidak menjelaskan detail
bagaimana pelayanan alat kontrasepsi diberikan. Di sisi lain, makna alat kontrasepsi
secara medis bisa diartikan sebagai instrumen untuk pengendalian angka
kehamilan sekaligus pencegahan penularan penyakit kelamin.
Akibat PP ini, masyarakat Indonesia terpecah menjadi dua
kelompok, Pro dan Kontra. Bagi kubu Pro, penyediaan alat kontrasepsi ini
dinilai upaya mencegah ekses negatif, sebagai intervensi pemerintah dalam
mencegah berbagai penyakit organ reproduksi. Mereka juga menganggap layanan kesehatan
reproduksi ini sebagai hak asasi Kesehatan setiap manusia. Kubu Kontra
menyikapi bahwa PP ini masih terbuka lebar untuk ditafsirkan secara liar dan
sangat berpotensi menimbulkan persepsi mengenai kebolehan hubungan badan pada
pelajar dan remaja. Dikhawatirkan malah akan menggiring opini remaja bahwa
hubungan seksual bukan masalah asal dilakukan secara aman.
Data yang diperoleh dari National Centre for Missing
Exploited Children (NCMEC) menyebutkan Indonesia menempati posisi keempat di
dunia dan peringkat kedua di Asia Tenggara dalam hal jumlah kasus konten
pornografi anak. Sedangkan BKKBN mencatat sebanyak 60% remaja usia 16-17 tahun
di Indonesia telah melakukan seks di luar pernikahan. Angka itu diikuti, remaja
usia 14-15 tahun sebanyak 20%, dan pada usia 19-20 sebanyak 20%. Fakta ini begitu
pahit, butuh respon dan aksi nyata. Haruskah alat kontrasepsi jawabannya?
Menyoal “Penyediaan Alat Kontrasepsi”
Dilansir pada dua media yang berbeda, Kompas dan Tempo, Pihak Kementerian Kesehatan sudah “menjawab” keresahan masyarakat terkait alat kontrasepsi ini. Melalui Juru Bicara Kementerian Kesehatan dan Plt Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes menyampaikan bahwa kontrasepsi ini dimaksudkan bukan untuk mencegah kehamilan remaja yang belum menikah, tetapi kontrasepsi untuk pasangan usia subur (PUS) dan kelompok usia subur berisiko. Artinya penyediaan alat kontrasepsi itu hanya diberikan kepada remaja yang sudah menikah untuk dapat menunda kehamilan hingga umur yang aman untuk hamil. Dengan demikian, penyediaan alat kontrasepsi tidak akan ditujukan kepada semua remaja.
Diskusi dan Solusi
Realita yang harus dihadapi, Indonesia menghadapi begitu
banyak masalah tentang reproduksi remaja. Mulai kehamilan usia dini, praktik seks
di luar nikah, hingga pernikahan anak. Sudah selayaknya dibuat aturan dan
program sebagai solusi yang sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang
berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama.
Jika tujuan pemerintah hendak menekan angka kehamilan
dini dan pernikahan dini akibat dampak seks bebas, maka seharusnya program yang
dijalankan lebih membuat remaja memiliki kedaulatan atas tubuhnya dan mampu
dengan tegas mengatakan ‘NO’ pada segala bentuk aktivitas seksual. Remaja
seharusnya Abstinensi atau memilih untuk tidak melakukan hubungan seks.
Program yang dibutuhkan remaja bukan hanya fokus pada pemahaman
mekanisme teknis dari kontrasepsi, tetapi lebih pada risiko dan konsekuensi
jangka panjang dari perilaku seksual prematur atau yang dilakukan sebelum
pernikahan. Pemberian layanan alat kontrasepsi tentu akan lebih dipahami
sebagai bentuk liberalisasi dan provokasi seks bebas tapi “aman”.
Berikut adalah alternatif yang bisa kita pilih sebagai “jalan tengah” remaja dan segala permasalahan reproduksi dalam siklus hidup:
Optimalisasi Peran Keluarga
Orang tua menjadi tauladan bagi anaknya termasuk bagaimana konsep hubungan dengan lawan jenis. Tanamkan pentingnya menjaga dan mencintai diri. Selalu ciptakan komunikasi yang terbuka dan jujur termasuk dalm topik seksualitas. Jangan menghindar saat anak bertanya seputar seks. Tekankan bahwa hubungan seksual hanya boleh dilakukan paska pernikahan. Bantu anak untuk membedakan antara cinta yang sehat dan nafsu sesaat. Ingatkan bahwa diri mereka sangat berharga dan harus dijaga.
Pendidikan seksual yang holistik
Pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi yang holistik
mencakup lebih dari sekadar informasi tentang organ reproduksi dan hubungan
seksual. Dibutuhkan pula dukungan emosional, dan pendekatan berbasis
nilai-nilai moral, agama, budaya, prinsip kesucian dan kehormatan sebagai
manusia. Pembenahan kurikulum dengan implementasi konsep pendidikan inklusi
terhadap pembelajaran kesehatan reproduksi anak dan remaja harus dimulai.
Pendidikan Repoduksi harus dilakukan secara massif, terintegrasi, dan terpantau. Skema pencegahan perilaku seks pra nikah akan lebih condong kepada edukasi mempertahankan dan mengelola alat reproduksi, bukan aktivitas seksualnya.
Optimalisasi peran Guru BK
Guru BK dapat memberikan informasi yang akurat dan up-to-date tentang sistem reproduksi, perubahan fisik dan psikologis selama pubertas, serta konsekuensi dari perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Dalam waktu bersamaan pula, guru BK dapat memperkuat nilai-nilai moral, pengembangan keterampilan hidup dan menjadi ruang aman yang mampu memberikan dukungan emosional terkait seksualitas. Guru BK juga akan bersinergi denga orang tua dan dinas terkait sehubungan dengan Kesehatan Reproduksi.
Pelibatan Publik
Karena peraturan menyangkut hajat hidup orang banyak,
dalam artian orang tua dan anak sekolah, maka alangkah baiknya dilakukan pelibatan
publik baik melalui Hearing atau e-partisipasi. Selain sebagai bentuk
akuntabilitas dan transparansi
pemerintah, hal ini juga akan menjadi legimitasi tersendiri bagi aturan yang
dibuat.
Terakhir, ada yang menggelitik dalam benak saya. Apa yang dirasakan para konseptor PP No 28 Tahun 2024, jika suatu hari menemukan dalam ransel sekolah anak yang dibanggakan terdapat alat kontraspsi. Bahagiakah anda?
Isna Ni’matus
Sholihah, S.Pd., M.Psi
Koordinator Bidang IT Divisi IBKS
Guru BK SMK Negeri 2 Bojonegoro